Rabu, 09 Mei 2012
watashi: isyrof, tabzir, ghibah dan fitnah
watashi: isyrof, tabzir, ghibah dan fitnah: A. BOROS (ISROF) Boros adalah menyia-nyiakan sesuatu tanpa manfaat melebihi batas disetiap perbuatan, misalnya menyia- nyiakan ha...
watashi: PERILAKU TERCELA
watashi: PERILAKU TERCELA: PERILAKU TERCELA A. Hasud Salah satu penyakit hati yang sangat besar adalah hasud. Hasud ( dengki ) adalah sikap batin tidak senan...
watashi: PERILAKU TERCELA
watashi: PERILAKU TERCELA: PERILAKU TERCELA A. Hasud Salah satu penyakit hati yang sangat besar adalah hasud. Hasud ( dengki ) adalah sikap batin tidak senan...
PERILAKU TERCELA
PERILAKU TERCELA
A. Hasud
Salah satu penyakit hati yang sangat
besar adalah hasud. Hasud ( dengki ) adalah sikap batin tidak senang terhadap
kenikmatan yang diperoleh orang lain dan berusaha untuk menghilangkannya dari
orang tersebut. Imam Ghazali mengatakan bahwa hasud itu adalah cabang dari
syukh ( الشخ)
yaitu sikap batin yang bakhil berbuat baik.
Kata hasud berasal dari bahasa Arab,
yaitu “hasadun” yang berarti dengki, benci. Dengki merupakan suatu sikap atau
perbuatan yang mencerminkan rasa marah, tidak suka karena iri. Dalam kamus
Bahasa Indonesia kata “hasud” diartikan membangkitkan hati seseorang supaya
marah (melawan, memberontak, dan sebagainya). Dengan demikian yang dimaksud
dengan hasud pada hakikatnya sama dengan hasad, yakni suatu perbuatan tercela
sebagai akibat adanya rasa iri hati dalam hati seseorang. Rasululloh s.a.w.
bersabda :
( ﺭَﻭَﺍﻩُﺃَﺣْﻤَﺪُﻭَﭐﻟﺘﱢﺮْﻣِﺬِﻱﱡ ) ﺩَﺏﱠﺇِﻟَﻴْﻜُﻢْﺩَﺍۤﺀُﭐْﻷُﻣَﻢِﻗَﺒْﻠَﻜُﻢْﺑَﻐْﻀَﺎﺀُﻭَﺣَﺴَﺪٌﻫِﻲَﺣَﺎﻟِﻘَﺔُﭐﻟﺪﱢﻳْﻦِﻻَﺣَﺎﻟِﻘَﺔُﭐﻟﺸﱠﻌْﺮِ
Artinya : “Telah masuk ke dalam
tubuhmu penyakit-penyakit umat terdahulu (yaitu) benci dan dengki, itulah yang
membinasakan agama, bukan dengki mencukur rambut”. (H.R. Ahmad dan Tirmidzi)
Lebih jauh para ulama mengemukakan
pengertian hasud atau hasad sebagai berikut :
1. Menurut Al Jurjani Al Hanafi dalam
kitabnya “Al Ta’rifaat”, hasad ialah menginginkan atau mengharapkan hilangnya nikmat
dari orang yang didengki (mahsud) supaya berpindah kepadanya (orang yang
mendengki).
2.
Menurut Imam Al Ghazali dalam kitab “Ihya Ulumuddin”, hasad
ialah membenci nikmat Allah S.W.T. yang ada pada diri orang lain, serta
menyukai hilangnya nikmat tersebut.
3. Menurut Sayyid Qutub dalam tafsir
“Al Manar”, hasad ialah kerja emosional yang berhubungan dengan keinginan agar
nimat yang diberikan Allah S.W.T. kepada seseorang dari hamba-Nya hilang dari
padanya. Baik cara yang dipergunakan oleh orang yang dengki itu dengan tindakan
supaya nikmat itu lenyap dari padanya atas dasar iri hati, ataau cukup dengan
keinginan saja. Yang jelas motif dari tindakan itu adalah kejahatan.
Hal inilah, seperti yang dijelaskan
Al Qur’an sebagai berikut :
(
۵4 : ﭐﻟﻨﱢﺴَﺎۤءُ ) ….. ﺃَﻡْﻳَﺤْﺴُﺪُﻭْﻥَﭐﻟﻨﱠﺎﺱَﻋَﻠَﻰﻣَﺎۤﺍٰﺗٰﻬُﻢُﭐﷲُﻣِﻦْﻓَﻀْﻠِﻪِ
Artinya : “ Ataukah mereka dengki
kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang telah Allah berikan kepadanya
…. (Q.S. An Nisa : 54)
Jadi hasud/hasad menurut istilah membenci nikmat Allah SWT yang dianugerahkan
kepada orang lain, dengan keinginan agar nikmat yang didapat orang tersebut
segera hilang atau terhapus.
Rasulullah saw menggambarkan betapa
tercelanya kedengkian itu dengan sabdanya:
(
ﺭَﻭَﺍﻩُﺃَﺑُﻮْﺩَﺍﻭُﺩَﻋَﻦْﺃَﺑِﻲْﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَﺭﺽ ) ﺇِﻳﱠﺎﻛُﻢْﻭَﭐﻟْﺤَﺴَﺪَﻓَﺈِﻥﱠﭐﻟْﺤَﺴَﺪَﻳَﺄْﻛُﻞُﭐْﻟﺤَﺴَﻨَﺎﺕِﻛَﻤَﺎﺗَﺄْﻛُﻞُﭐﻟﻨﱠﺎﺭُﭐﻟْﺤَﻄَﺐَ
”Kedengkian memakan kebaikan
sebagaimana api memakan kayu bakar” (HR.Abu Daud dari Abu Hurairah). Ketika
seseorang mengharapkan lenyapnya nikmat dari orang yang didengki maka saat itu
ia telah berlaku hasad, karena sesungguhnya kedengkian adalah membenci nikmat
dan menginginkan lenyapnya nikmat itu dari orang yang mendapatkannya.
Pantaslah jika Rasulullah saw pernah
menyebut seseorang sebagai penghuni surga akan lewat di depan
sahabat-sahabatnya, yang ketika kejadian itu berulang tiga kali dalam tiga hari
Rasulullah menyebutnya sebagai seorang dari penghuni surga, dan ketika
ditelusuri oleh Abdullah bin Amer bin al-Ash dengan bermalam di rumah orang
tersebut selama tiga malam, ia tidak pernah melihat amalan orang tersebut yang
berlebihan, bahkan orang itu juga tidak bangun malam, kecuali jika berbalik
dari tempat tidurnya ia menyebut Allah, ia tidak bangun kecuali untuk shalat
subuh, dan tidak pernah mendengarnya berkata kecuali kebaikan.
Bahkan hampir saja Abdullah meremehkan amalannya. Ketika
Abdullah mengatakan bahwa sesungguhnya Rasulullah telah bersabda begini dan
begitu, kemudian ia bertanya : ”Apakah gerangan yang membuatmu mencapai
tingkatan tersebut?"
Orang tersebut menjawab: ”Tidak ada
apa-apa kecuali yang kamu lihat, hanya saja aku tidak punya rasa benci dan
dengki kepada salah seorang pun dari kaum muslimin yang dikaruniai Allah
kebaikan”.
Di sinilah Abdullah menemukan
jawaban itu, ia berkata :”Itulah rupanya yang membuatmu mencapai tingkatan itu,
dan itulah yang tidak mampu kami lakukan”.
Demikianlah nikmatnya jika kita
dapat menghidarkan diri dari berlaku hasad pada orang lain yakni surga, yang
sesungguhnya terlihat sangatlah sepele persoalannya meskipun sesungguhnya berat
dalam pengamalannya.
Cukuplah menjadi renungan kita
bersama bahwasanya penyebab pembunuhan pertama kali di muka bumi ini terjadi
yaitu anak Adam membunuh saudaranya adalah disebabkan oleh kedengkiannya pada
saudaranya atas nikmat yang dimilikinya lalu kita bertanya masihkah kita harus
mendengki?
Rasulullah bersabda:
( رواه ﭐﻟْﺒُﺨَﺎﺭِﻱﱡ ومسلم ) عبادالله
إخوانا كما أمركم الله ولا تحاسدوا ولاتقاطعوا ولاتباغضوا ولاتدابروا وكونوا
Artinya : “Janganlah kamu
sekalian saling mendengki, membenci, dan saling belakang-membelakangi; tetapi
jadilah kamu hamba Allah yang bersaudara sebagaimana yang telah diperintahkan
Allah kepadamu”. ( H.R Bukhari dan Muslim )
Setiap muslim/muslimah wajib
hukumnya menjauhi sifat hasud karena hasud termasuk sifat tercela dan merupakan
perbuatan dosa. Simaklah QS. An Nisa’ [4]: 32
Artinya : ““Dan janganlah kamu
iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih
banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian
dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian
dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari
karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Dalam kitab Tanbihul Ghafilin yang
dinyatakan Imam Abu Laits Samarqandi, dijelaskan bahwa orang hasud itu telah
menentang Allah SWT dalam beberapa hal, :
1. Membenci nikmat atau anugerah Allah
SWT yang diberikan kepada orang lain.
2.
Tidak rela menerima pembagian karunia Allah SWT atas
dirinya.
3.
Pelit terhadap pemberian Allah SWT, kalau bisa semua
anugerah Allah dan kebajikan jatuh pada dirinya sendiri, tak perlu orang lain.
Kalaupun orang lain memperolehnya diharapkan di bawah derajat dirinya.
4. Mengikuti pengaruh Ibnlis/syetan
yang sebetulnya sangat merugikan dan menghinakan dirinya sendiri
Bahaya-bahaya sifat hasud antara
lain sebagai berikut :
1) Merusak iman orang yang hasud.
( رواه ﭐﻟﺪﱠﻳْﻠَﻤِﻲﱡ ) الحسد ﻳُﻔْﺴِﺪُ الايمان كما يفسد الصبر العسل
Artinya : “Hasud itu dapat
merusak iman sebagaimana jadam merusak madu” (H.R Ad Dailami)
2) Menghanguskan segala macam kebaikan
yang pernah dilakukan.
(
رواه ابو داود ) ﺇِﻳﱠﺎﻛُﻢْﻭَﭐﻟْﺤَﺴَﺪَﻓَﺈِﻥﱠﭐﻟْﺤَﺴَﺪَﻳَﺄْﻛُﻞُﭐْﻟﺤَﺴَﻨَﺎﺕِﻛَﻤَﺎﺗَﺄْﻛُﻞُﭐﻟﻨﱠﺎﺭُﭐﻟْﺤَﻄَﺐ
Artinya : “Jauhilah darimu dari
hasud karena sesungguhnya hasud itu memakan kebaikan-kebaikan seperti api
memakan kayu bakar”. ( H.R Abu Dawud )
3) Tersiksa batinnya untuk
selama-lamanya, sebab di dunia ini tidak sepi dari orang-orang yang mendapat
nikmat dari Allah baik berupa ilmu, pangkat, atau harta benda sementara dia
selalu diliputi rasa dengki terus menerus.
Ada 2 macam hasud yang dibolehkn,
Rasulullah bersabda
لاحسد إلا فى اثنين رجل
أتاه الله مالا فسلطه على هلكته فى الحق ورجل أتاه الله الحكمة فهو يقضي بها
ويعلمها
(
رواه ﭐﻟْﺒُﺨَﺎﺭِﻱﱡ )
Artinya : “Tidak boleh iri hati
kecuali dalam 2 hal : 1. Seorang yang diberi oleh Allah SWT harta kekayaan maka
dipergunakan untuk mempertahankan hak ( kebenaran ) dan 2. Seorang yang diberi
Allah SWT ilmu hikmah, maka ia pergunakan dan ia ajarkan”. ( H.R Bukhari )
4)
Mengarah pada perbuatan maksiat, dengan berlaku hasud
otomatis seseorang pasti melakukan hal-hal lain seperti ghibah
(mengumpat/menggosip orang), berdusta, mencela, bahkan mengadu domba.
5)
Jauh dari rahmat Allah SWT dan sesama manusia
6)
Menghancurkan persatuan dan kesatuan
7)
Menyakiti orang lain atau dapat mencelakakan orang lain
8)
Terkena hinaan dan kegelisahan apalagi ia menyadari bahwa
orang lain telah memahami hasutannya, maka ia akan dipandang rendah dan pasti
dijauhi.
9)
Kerisauan dan kegelisahan akibat kebencian tak
terputus-putus
10)
Akan selalu menderita di atas kesenangan orang lain. Ia
tidak pernah merasa bahagia selama ada orang lain yang melebihinya
11)
Dapat memutuskan hubungan silaturrahim dan persaudaraan
12)
Berpotensi akan menjadi provokator yang dapat menimbulkan
bencana atau kerugian, baik untuk dirinya ataupun orang lain
13) Menjerumuskan pelakunya masuk
neraka.
Cara
menghindari sifat hasud :
a)
Selalu meningkatkan iman kepada
Allah SWT
b) Berupaya
meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT
c) Mensyukuri
nikmat Allah SWT yang telah diberikan kepadanya
d) Meningkatkan
sifat Qana’ah (menerima dengan ridlo setiap anugerah Allah SWT)
e)
Menyadari kedudukan harta dan
jabatan dalam kehidupan manusia di dunia.
Kebiasaan-kebiasaan yang harus
dilatih agar terhindar dari sifat hasud
a. Membiasakan
diri menghormati pendapat orang lain agar terhibdar dari konflik
b.
Membiasakan diri melakukan perbuatan baik, karena Allah
bersama orang yang berbuat baik (Q.S. 16 :128)
c.
Membiasakan diri senang dan bersyukur serta memberikan
selamat atas keberhasilan/kebahagiaan orang lain
d.
Membiasakan diri memelihara hubungan baik/silaturrahim
e.
Membiasakan diri mempelajari, memahami dan memperaktikkan
ayat-ayat Allah
f.
Kemitmen untuk selalu meningkatkan ke-Islaman terutama salat
lima waktu
g. Membiasakan
diri mensyukuri nikmat/pemberian Allah sekecil apapun
B. Riya’
Menurut bahasa artinya pamer,
memperlihatkan, memamerkan, atau ingin memperlihatkan yang bukan sebenarnya,
sedang menurut istilah yaitu memperlihatkan suatu ibadah dan amal shalih kepada
orang lain, bukan karena Allah tetapi karena sesuatu selain Allah, dengan
harapan agar mendapat pujian atau penghargaan dari orang lain. Sedang
memperdengarkan ucapan tentang ibadah dan amal salehnya kepada orang lain
disebut sum’ah (ingin didengar).
Riya’ dan sum’ah merupakan perbuatan
tercela dan merupakan syirik kecil yang hukumnya haram. Riya’ sebagai salah
satu sifat orang munafik yang seharusnya dijauhi oleh orang mukmin. Simak QS.
An Nisa’ [4] 142!
Artinya : “Sesungguhnya orang-rang
munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan jika
mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas, mereka bermaksud riya’
( dengan shalat itu ) dihadapan manusia, dan tidaklah mereka dzkiri kepada
Allah kecuali sedikit sekali.”
Dalam sebuah hadis, Rasulullah
bercerita, ”Di hari kiamat nanti ada orang yang mati syahid diperintahkan oleh
Allah untuk masuk ke neraka. Lalu orang itu melakukan protes, ‘Wahai Tuhanku,
aku ini telah mati syahid dalam perjuangan membela agama-Mu, mengapa aku
dimasukkan ke neraka?’ Allah menjawab, ‘Kamu berdusta dalam berjuang. Kamu
hanya ingin mendapatkan pujian dari orang lain, agar dirimu dikatakan sebagai
pemberani.
Dan, apabila pujian itu telah
dikatakan oleh mereka, maka itulah sebagai balasan dari perjuanganmu’.” Orang
yang berjuang atau beribadah demi sesuatu yang bukan ikhlas karena Allah SWT,
dalam agama disebut riya. Sepintas, sifat riya merupakan perkara yang sepele,
namun akibatnya sangat fatal. Sifat riya dapat memberangus seluruh amal
kebaikan, bagaikan air hujan yang menimpa debu di atas bebatuan.
Allah SWT berfirman QS. Al-Furqan
[25] : 23
Artinya : ”Dan Kami hadapi segala
amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang
beterbangan.”
Abu Hurairah RA juga pernah
mendengar Rasulullah bersabda, ”Banyak orang yang berpuasa, namun tidak
memperoleh sesuatu dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga, dan banyak pula
orang yang melakukan shalat malam yang tidak mendapatkan apa-apa kecuali tidak
tidur semalaman.”
Begitu dahsyatnya penyakit riya ini,
hingga ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah, ”Apakah keselamatan itu?”
Jawab Rasulullah, ”Apabila kamu tidak menipu Allah.” Orang tersebut bertanya
lagi, ”Bagaimana menipu Allah itu?” Rasulullah menjawab, ”Apabila kamu
melakukan suatu amal yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya
kepadamu, maka kamu menghendaki amal itu untuk selain Allah.”
Meskipun riya sangat berbahaya,
tidak sedikit di antara kita yang teperdaya oleh penyakit hati ini. Kini tidak
mudah untuk menemukan orang yang benar-benar ikhlas beribadah kepada Allah
tanpa adanya pamrih dari manusia atau tujuan lainnya, baik dalam masalah
ibadah, muamalah, ataupun perjuangan. Meskipun kadarnya berbeda-beda antara
satu dan lainnya, tujuannya tetap sama: ingin menunjukkan amaliyahnya, ibadah,
dan segala aktivitasnya di hadapan manusia.
Secara tegas Rasulullah pernah
bersabda, ”Takutlah kamu kepada syirik kecil.” Para shahabat bertanya, ”Wahai
Rasulullah, apa yang dimaksud dengan syirik kecil?” Rasulullah berkata, ”Yaitu
sifat riya. Kelak di hari pembalasan, Allah mengatakan kepada mereka yang
memiliki sifat riya, ‘pergilah kalian kepada mereka, di mana kalian pernah
memperlihatkan amal kalian kepada mereka semasa di dunia. Lihatlah apakah
kalian memperoleh imbalan pahala dari mereka”
Amal perbuatan yang diridlai Allah
a. Niat karena Allah
b. Ikhlas
c. Sesuai dengan kemampuan
d. Tidak pilih kasih
e. Rahmat bagi seluruh alam
Amal perbuatan ria
a. Niat bukan karena Allah
b.
Tidak ikhlas
c.
Mengada-ada
d.
Pilih kasih
e.
Ingin dipuji
f. Mengharap imbalan
Dilihat dari bentuknya, ria dapat
digolongkan 2 macam, yaitu :
a. Ria dalam niat
Ria yang berkaitan dengan hati,
maksud ria dalam niat, yaitu sejak awal perbuatan bahkan yang dilakukannya
tidak didasari ikhlas sebelumnya sudah didasari ria. Yang mengetahui hanya
Allah SWT dan dirinya saja. Apabila seseorang ingin melakukan amal perbuatan
baik atau tidak tergantung pada niat. Rasulullah s.aw. bersabda :
(
متفق عليه ) ﺳَﻤِﻌْﺖُﻋُﻤَﺮَﭐﺑْﻦَﭐﻟْﺨَﻄﱠﺎﺏﻗَﺎﻝَﻋَﻠَﻰﭐﻟْﻤِﻨْﺒَﺮﺳَﻤِﻌْﺖُﺭَﺳُﻮْﻝَﺹﻉﻳَﻘُﻮْﻝُِِﺇِﻧﱠﻤَﺎﺍْﻻَﻋْﻤَﺎﻝُﺑِﺎﻟﻨﱢﻴﱠﺎﺕِﻭَﺇِﻧﱠﻤَﺎﻟِﻜُﻞﱢﺍﻣْﺮِﺉٍﻣَﺎﻧَﻮَﻯ
Artinya : “aku mendengar Umar bin al
Khaththab berkata di atas mimbar, ‘aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda :
“Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung niatnya, dan sesungguhnya bagi
setiap orang memperoleh sesuai apa yang ia niatkan …” (H.R. Bukhari Muslim)
b. Ria dalam perbuatan
Yaitu memamerkan atau menunjukkan
perbuatan di depan orang banyak, agar perbuatan tersebut dipuji, diperhatikan,
dan disanjung orang lain.
Di antara contoh riya dalam
perbuatan, bila seorang pelajar terlihat belajar dengan sungguh-sungguh hanya
karena ingin mendapat nilai yang bagus. Dan dia melakukan hal itu kepada orang
tuanya hanya karena ingin mendapatkan apa yang dia minta dari orang tuanya
cepat-cepat terkabul.
Beberapa penjelasan Allah SWT dalam
Al Qur’an sehubungan dengan riya’ dalam perbuatan antara lain :
a) Melakukan ibadah shalat tidak untuk
mencapai keridlaan Allah SWT, tetapi mengaharapkan pujian, popularitas di
masyarakat. (Q.S. Al Ma’un (107) : 4-6), dan Q.S. An Nisa (4) : 142.
Artinya : “Maka celakalah bagi
orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,
orang-orang yang berbuat riya”. (Q.S. Al Ma’un: 4-6)
b) Bersedekah didasari riya laksana
riya’ batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan
lebat, lalu menjadilah ia bersih. (Q.S. Al Baqarah (2) : 264)
c) Allah melarang pergi berperang
didasari riya’ dan menghalangi (orang) lain menempuh jalan Allah (sabilillah).
(Q.S. Al Anfaal (8) : 47)
Beberapa ciri orang yang mempunyai
sifat ria dalam perbuatan
a. Tidak akan berbuat baik jika tidak
dilihat orang lain atau tidak ada imbalan baginya
b.
Melakukan amal saleh tanpa dasar, hanya ikut-ikutan (Q.S. 17
: 36)
c.
Tampak rajin penuh semangat jika amal perbuatannya dilihat
atau dipuji-puji orang.
d. Ucapannya selalu menunjukkan bahwa
dia yang paling hebat, paling tinggi dan paling mampu.
Bahaya-bahaya yang ditimbulkan dari
sikap riya
a.
Bahaya riya yang merugikan diri
sendiri
1) Selalu tidak ada puasnya, sekalipun
hidupnya sudah berkecukupan sehingga berpotensi untuk korupsi dan mengambil hak
orang lain
2) Selalu ingin dipuji dan dihormati
3) Ketidakpuasan, sakit hati, dan
penyesalan ketika orang lain tidak menghargainya.
4) Sombong dan membanggakan diri
5) Tidak dapat bersungguh-sungguh dalam
beribadah kepada Allah maupun berinteraksi dengan sesama manusia.
6) Menyesal jika telah melakukan
perbuatan baik hanya karena tidak ada orang lain yang melihatnya atau tidak ada
imbalannya
7) Jiwanya akan terganggu karena kegelisahan/keluh
kesah yang tiada henti
8) Perbuatan ria termasuk syirik kecil
وَعَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ رضي
الله عنه قَالَ : قَالَ
رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم
(
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ اَلشِّرْكُ
اَلْأَصْغَرُ اَلرِّيَاءُ )
أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ بِسَنَدٍ حَسَنٍ
Artinya : Dari Mahmud Ibnu Labid
r.a. bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
"Sesungguhnya hal yang paling aku takuti menimpamu ialah syirik kecil:
yaitu riya." Riwayat Ahmad dengan sanad hasan.
9) Allah tidak akan menerima dan
memberi pahala atas perbuatan ria (terhapusnya pahala yang sudah diperbuat)
10) Di akhirat akan dicampakkan ke dalam
api neraka.
b. Bahaya
riya yang merugikan orang lain
1) Berpotensi saling bermusuhan, karena
ia mengungkit apa yang yang diberikannya kepada orang lain.
2) Memamerkan amalnya kepada orang
lain, sehingga orang lain menjadi benci dan tidak senang terhadapnya
3) Sikap dan perilakunya yang ria akan
berpotensi menimbulkan pertikaian dan akhirnya menimbulkan pengrusakan
Tanda-tanda riya’
Tanda-tanda penyakit hati ini pernah
dinyatakan oleh Ali bin Abi Thalib. Kata beliau, ”Orang yang riya itu memiliki
tiga ciri, yaitu malas beramal ketika sendirian dan giat beramal
ketika berada di tengah-tengah orang ramai, menambah amaliyahnya ketika
dirinya dipuji, dan mengurangi amaliyahnya ketika dirinya dicela.”
Kebiasaan yang dapat menghindari
perbuatan riya
a. Memfokuskan niat ibadah (ikhlas)
hanya semata-mata karena Allah SWT
b.
Membiasakan diri membaca basmallah sebelum memulai pekerjaan
c.
Membiasakan menjaga lisan saat bekerja
d.
Membiasakan diri menolong atau membantu pekerjaan orang lain
tanpa harus disuruh dan meminta imbalan
e.
Membiasakan bersedekah atau mengeluarkan infaknya setiap
mendapat rezeki atau kesenangan
f.
Tidak mudah tergiur atau terpengaruh dengan kemewahan orang
lain
g.
Tidak membuat kecemburuan kepada orang lain
h.
Saling menasehati untuk kebaikan dan kesabaran dalam
beribadah
i.
Tidak memamerkan sesuatu karena pada dasarnya semua yang
dimiliki adalah dari Allah dan akan kembali kepada-Nya
j.
Membiasakan diri untuk bersyukur kepada Allah SWT
Allah SWT berfirman :
Artinya : “Dan (ingatlah juga),
tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami
akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih." (Q.S. Ibrahim (14) : 7)
C. Aniaya (adh-Dhulm)
Kata “adh-dhulm” berasal dari
fi’l (kata kerja) “dhalama – yadhlimu” artinya : ”rugi, gelap, aniaya”
atau yang berarti “Menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya”. Dalam hal ini
sepadan dengan kata “al-Jawr”. Dalam bahasa Indonesia, zalim biasa
disebut dengan istilah “aniaya”, artinya melampaui batas, keterlaluan, atau
tindakan/perbuatan yang melampaui batas yang dapat merugikan dirinya dan orang
lain. Menganiaya berarti menyiksa, menyakitidan berbagai bentuk kesewenangan
lainnya seperti menindas, mengambil hak orang lain dengan paksa dan lain-lain.
Demikian juga definisi yang dinukil
oleh Syaikh Ibnu Rajab dari kebanyakan para ulama. Dalam hal ini, ia adalah
lawan dari kata al-‘Adl (keadilan).
Dengan demikian yang dimaksud dengan aniaya (dhulm)
adalah meletakkan, menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya atau tidak sesuai
dengan ketentuan Allah. Siapakah orang yang dhalim itu? Q.S Al Baqarah [2]:
229 menjawab :
Artinya : “…Barangsiapa yang
melanggar hukum-hukum Allah, maka mereka itulah orang-orang yang dhalim.”
Dari Ibnu ‘Umar -radhiallaahu
‘anhuma- dia berkata: Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kezhaliman
adalah kegelapan (yang berlipat) di hari Kiamat”. (Muttafaqun ‘alaih)
Dari Jâbir bin ‘Abdillah bahwasanya
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: “berhati-hatilah terhadap
kezhaliman, sebab kezhaliman adalah kegelapan (yang berlipat) di hari Kiamat.
Dan jauhilah kebakhilan/kekikiran karena kekikiran itu telah mencelakakan umat
sebelum kamu”. (H.R.Muslim)
Hadits diatas dan semisalnya
merupakan dalil atas keharaman perbuatan zhalim dan mencakup semua bentuk
kezhaliman, yang paling besarnya adalah syirik kepada Allah Ta’âla sebagaimana
di dalam firman-Nya: “Sesungguhnya syirik itu merupakan kedhaliman yang besar”.
Di dalam hadits Qudsiy, Allah Ta’âla
berfirman: “Wahai hamba-hambaku! Sesungguhnya Aku mengharamkan kezhaliman
terhadap diriku dan menjadikannya diharamkan antara kalian”.
Ayat-ayat dan hadits-hadits serta
atsar-atsar tentang keharaman perbuatan dhalim dan penjelasan tentang
keburukannya banyak sekali. Oleh karena itu, hadits diatas memperingatkan
manusia dari perbuatan zhalim, memerintahkan mereka agar menghindari dan
menjauhinya karena akibatnya amat berbahaya, yaitu ia akan menjadi kegelapan
yang berlipat di hari Kiamat kelak.
Ketika itu, kaum Mukminin berjalan
dengan dipancari oleh sinar keimanan sembari berkata: “Wahai Rabb kami!
Sempurnakanlah cahaya bagi kami”. Sedangkan orang-orang yang berbuat zhalim
terhadap Rabb mereka dengan perbuatan syirik, terhadap diri mereka dengan
perbuatan-perbuatan maksiat atau terhadap selain mereka dengan bertindak
sewenang-wenang terhadap darah, harta atau kehormatan mereka; maka mereka itu
akan berjalan di tengah kegelapan yang teramat sangat sehingga tidak dapat
melihat arah jalan sama sekali.
Klasifikasi Kezhaliman
Syaikh Ibn Rajab berkata:
“Kezhaliman terbagi kepada dua jenis: Pertama, kezhaliman seorang hamba
terhadap diri sendiri; Bentuk paling besar dan berbahaya dari jenis ini adalah
syirik sebab orang yang berbuat kesyirikan menjadikan makhluk sederajat dengan
Khaliq. Dengan demikian, dia telah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya.
Jenis berikutnya adalah perbuatan-perbuatan maksiat dengan berbagai macamnya;
besar maupun kecil.
Kedua, kezhaliman yang dilakukan oleh
seorang hamba terhadap orang lain, baik terkait dengan jiwa, harta atau
kehormatan.
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi
wasallam telah bersabda ketika berkhuthbah di haji Wada’ : “Sesungguhnya darah,
harta dan kehormatan kalian diharamkan atas kalian sebagaimana keharaman hari
kalian ini, di bulan haram kalian ini dan di negeri (tanah) haram kalian ini”.
Di dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhary dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam,
beliau bersabda: “Barangsiapa yang pernah terzhalimi oleh saudaranya, maka
hendaklah memintakan penghalalan (ma’af) atasnya sebelum kebaikan-kebaikannya
(kelak) akan diambil (dikurangi); Bila dia tidak memiliki kebaikan, maka
kejelekan-kejelekan saudaranya tersebut akan diambil lantas dilimpahkan
(diberikan) kepadanya”.
Ciri-ciri orang zalim berdasarkan Al
Qur’an
Al Qur’an memberikan informasi
banyak sekali tentang identitas atau cirri orang zalim yang sikap perilakunya
atau cara memimpinnya dinisbatkan kepada firman di antaranya sebagai berikut :
a.
Senantiasa rakus terhadap kekuasaan.
قَالَتْ إِنَّ الْمُلُوكَ إِذَا دَخَلُوا قَرْيَةً
أَفْسَدُوهَا وَجَعَلُوا أَعِزَّةَ أَهْلِهَا أَذِلَّةً وَكَذَلِكَ يَفْعَلُونَ
Artinya : Dia berkata:
"Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka
membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian
pulalah yang akan mereka perbuat. (Q.S. An Naml : 34)
b.
Sikap zalim dapat juga diketahui dari sifat-sifat sombong, congkak, arogan,
sewenang-wenang, sok kuasa, mentang-mentang dan mengklaim bahwa
(seolah-olah) semua kesuksesan, dialah penggagasnya.
c.
Kaki tangannya (anak buahnya) sebagai perpanjangan
kekuasaannya menindas dan menggusur si lemah.
d.
Merencanakan pembunuhan/menghilangkan nyawa kepada golongan
tertentu agar keinginan (nafsu) memimpin lebih lama lagi terus berlangsung.
e.
Akan lebih berbuat sadis, bila intimidasi yang pertama tidak
mampu menimbulkan rasa gentar terhadap pihak lawannya.
Macam-macam sifat zalim/aniaya
Pada dasarnya secara umum zalim atau
perbuatan aniaya dapat diklasifikasi 4 macam :
- Zalim kepada Allah, dengan cara tidak mau melaksanakan perintah allah dan melaksanakan laranganNya. Contoh : meninggalkan ibadah shalat, puasa, zakat dan ibadah lainnya, bahkan berbuat syirik, sihir dan perbuatan terlarang lainnya.
- Zalim kepada diri sendiri, contohnya : membiarkan diri sendiri tetap bodoh, miskin, malas, minum-minuman keras, bunuh diri dan lain-lain.
- Zalim kepada orang lain (sesama manusia), contohnya : mengumpat, mengado domba, memfitnah, mencuri, merampok, penyiksaan, pembunuhan, dan lain-lain.
- Zalim kepada makhluk lain atau alam sekitarnya, contohnya : menebang pohon tanpa aturan, membuang sampah sembarangan, menyembelih binatang dengan senjata tumpul, dan lain-lain.
Penyebab terjadinya
Ibnu al-Jauziy menyatakan:
“kedhaliman mengandung dua kemaksiatan: mengambil milik orang lain tanpa hak,
dan menentang Rabb dengan melanggar ajaran-Nya… Ia juga terjadi akibat
kegelapan hati seseorang sebab bila hatinya dipenuhi oleh cahaya hidayah tentu
akan mudah mengambil i’tibar (pelajaran)”.
Penyebab kedhaliman juga dapat
dikembalikan kepada definisinya sendiri, yaitu tidak menempatkan sesuatu pada
tempatnya. Dan hal ini terjadi akibat kurangnya pemahaman terhadap ajaran agama
sehingga tidak mengetahui bahwa :
- Hal itu amat dilarang bahkan diharamkan
- Ketidakadilan akan menyebabkan adanya pihak yang terzhalimi
- Orang yang memiliki sifat sombong dan angkuh akan menyepelekan dan merendahkan orang lain serta tidak peduli dengan hak atau perasaannya
- Orang yang memiliki sifat serakah selalu merasa tidak puas dengan apa yang dimilikinya sehingga membuatnya lupa diri dan mengambil sesuatu yang bukan haknya
- Orang yang memiliki sifat iri dan dengki selalu bercita-cita agar kenikmatan yang dirasakan oleh orang lain segera berakhir atau mencari celah-celah bagaimana menjatuhkan harga diri orang yang didengkinya tersebut dengan cara apapun
Kebiasaan perbuatan pelajar yang
berpotensi menjadi zalim
- Kebiasaan membolos sekolah
- Kebiasaan malas mencatat dan belajar. Sering tidur di kelas dan sering mengerjakan pekerjaan (PR) di sekolah.
- Kebiasaan usil / jahil yang berpotensi menimbulkan permusuhan
- Berkelahi antar pelajar (tawuran)
- Kebiasaan merokok/ mabuk
- Kebiasaan telat masuk sekolah dengan sengaja karena malas
- Kebiasaan mengobrol/tidak memperhatikan saat guru menerangkan pelajaran
- Kebiasaan mencuri, atau menyembunyikan harta milik teman-teman sekelasnya.
- Memprovokasi teman-temannya dalam pelanggaran sekolah
Bahaya sifat zalim
- Akan merugikan kehidupan diri sendiri baik di dunia maupun akhirat
- Akan memperoleh adzab /laknat dari Allah (Q.S. 5 : 78-80)
- Akan memperoleh siksaan allah di akhirat (Q.S. 5 : 33)
- Amal perbuatannnya akan menjadi sia-sia di sisi Allah (Q.S. 18 : 103 – 105)
Cara-cara menghindari dari sikap
aniaya/zalim
Ø Selalu waspada dan hati-hati dalam
setiap menghadapi masalah
Ø Jangan membuka aib atau cacat orang
lain
Ø Menumbuhkan rasa persaudaraan, kasih
sayang, dan persaudaraan kepada antarsesama
Ø Menyadari bahwa setiap perbuatan
mempunyai sebab akibat sesuai dengan sunnatullah
Ø Menyadari do’a orang yang teraniaya
itu makbul
Ø Mengamalkan ajaran agama dengan
memperbanyak berbuat kebaikan sehingga tak ada waktu untuk berbuat aniaya
Ø Membiasakan diri bersyukur kepada
Allah SWT
Ø Berhati-hati dalam bertindak,
berbicara dan dalam menerima setiap informasi yang ada
Ø Meluruskan / memahami ketauhidan
Ø Membiasakan menjaga amanah, yaitu
memberikan hak orang lain
Ø Membiasakan bersikap adil dalam
memutuskan suatu perkara
Hukuman Allah terhadap pemimpin yang
zalim
Ô Akan dipertanggungjawabkan segenap
perbuatannya. (Q.S. 36 ; 65, 45 ; 15)
Ô Akan mendapatkan balasan setimpal
dengan apa yang telah dikerjakannya. (Q.S. 10 ; 27)
Ô Akan mendapatkan siksaan di neraka
selama-lamanya. (Q.S. 16 ; 88, 98 ; 6)
Ô Akan mendapatkan siksaan yang besar,
dibunuh dan disalib (Q.S. 5 ; 33)
D. Diskriminasi
Diskriminasi adalah istilah populer
yang seringkali kita dengar seiring dengan gencarnya istilah demokrasi disebut.
Diskriminasi bermakna perbedaan warna kulit; perbedaan perlakuan terhadap
sesama warga negara karena perbedaan warna kulit. Awal munculnya istilah ini
memang dari adanya pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara atas dasar
warna kulit. Ada kelompok warga berwarna kulit hitam dan putih.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia
karangan Purwodarminto, diskriminasi artinya adalah perbedaan perlakuan
terhadap sesama warga Negara (berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi,
agama, dan sebagainya)
Istilah diskriminasi kemudian meluas
maknanya kepada segala bentuk pembedaan atas warga negara atas dasar suku
bangsa dan ras antar negara (SARA).
Islam sangat mengecam perbuatan
diskriminatif. Islam tidak memandang kemuliaan seseorang atas dasar penampakan
lahiriyah dan segala unsur SARA. Memang kemajemukan umat adalah hal yang sangat
wajar dan semestinya. Kemajemukan bukan untuk diperselisihkan atau
dipertentangkan, karena memang kemajemukan ini adalah takdir Allah SWT.
Kemajemukan seyogyanya dijadikan media untuk saling
mengenal, memahami dan mempelajari agar tampak mana siapa yang paling bertaqwa
di sisi Allah SWT. Agar kita mampu menghindari sikap deskriminatif tersebut,
sebaiknya kita mengambil hikmah dari firman Allah SWT dalam QS. Al Hujurat [49]
: 10-13 ;
Artinya :
10. Orang-orang beriman itu
sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara
kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.
11. Hai orang-orang yang beriman,
janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi
yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan
perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih
baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan
gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang
buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah
orang-orang yang zalim.
12. Hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari
purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang.
13. Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.
Berdasarkan ayat-ayat di atas, kita
bisa mengambil pelajaran untuk menghindari sikap diskriminatif sebagai berikut:
Ä Sesama orang yang beriman dan
beragama Islam adalah saudara yang saling menyayangi dan menghormati.
Ä Yang membedakan mereka di sisi Allah
adalah kualitas ketaqwaan mereka. Oleh karena itu kita dilarang untuk:
¯ Saling merendahkan
¯ Saling mencela
¯ Saling memanggil dengan gelaran yang
mengandung ejekan
¯ Saling berperasangka jelek (saling
curiga)
¯ Saling mencari-cari kejelekan orang
lain
¯ Saling menggunjingkan
Ä Keragaman ciptaan, bangsa dan suku
adalah sesuatu yang wajar dan niscaya.
Ä Allah tidak melihat kemuliaan
seseorang dari penampilan luar.
Ä Sesungguhnya orang yang paling mulia
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa.
Ä Allah paling tahu siapa yang paling
bertaqwa dan siapa yang hanya berpura-pura bertaqwa.
Dalam ajaran Islam keadilan
ditegakkan tanpa memandang bulu/diskriminasi baik rakyat jelata ataupun raja
harus tunduk kepada hukum dan ajaran Allah SWT, jika ia melanggar harus
menerima konsekuensinya. Khalifah Umar bin al Khaththab r.a. pernah berkata :
ﺇِﻥﱠﭐﻹِﺳْﻼَﻡَﺟَﻤَﻊَﺑَﻴْﻨﹷﻜُﻤَﺎﻭَﺳَﻮﱠﻯﺑَﻴْﻦَﭐﻟْﻤﹷﻠِﻚِﻭَﭐﻟﺴﹹﻮْﻗَﺔِﻓِﻰﭐﻟْﺤﹷﺪﱢ
Artinya : “Sesungguhnya Islam itu
menghimpun di antara kamu satu sama lain dan memandang sama antara raja dan
rakyat dari segi hukum (sama-sama mempunyai hak dan kewajiban yang akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah)”. (Umar bin Khaththab).
Langganan:
Postingan (Atom)